Masjid Nabawi

Masjid Nabawi
يا سيدي يا رسول الله يا سيدي يا رسولَ الله - يا من له الجَاهُ عند الله إنّ الْمُسِيْئِيْنَ قدْ جَاءُوك - بالذّنْبِ يَسْتَغْفِرُونَ الله يا سيّد الرُّسْل هَادِيْنـا - هَيـّا بِغَارة إِلَيْنا الآن يا هِِمَّة السّادات الأقْطاَب- مَعَادِن الصِّدْقِ والسِّرّ نَادِ المُهَاجِرصَفِيّ الله -ذاك ابْنُ عيسى أبَا السَّادات ثُمّ المُقَدّم ولِيّ الله - غَوْث الوَرَى قُدْوَة القَادات ثمّ الوَجِيْـه لِديْنِ الله - سَقّافَنا خَارِق الْعَادَات والسّيّد الكامِل الأَوّاب - العَيْدرُوس مَظْهَر القُطْر قُومُوا بِنا واكْشِفُوا عَنّا - يا سَاداتِي هذِه الأَسْوَ وَاحْمواُ مَدِيْنَتْكُم الغَنَّا - مِنْ جُمْلةِ الشَّرّ والْبَلْوَى

Selasa, 15 Juni 2010

Junaid al-Bagdadi




Junaid al-Bagdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-Nihawandi. Dia adalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih.
Dikatakan bahwa para sufi pada masanya, Junaid adalah seorang sufi yang mempunyai wawasan luas terhadap ajaran tasawuf, mampu membahas secara mendalam, khusus tentang paham tauhid dan fana`.[1] Karena itulah dia digelari Imam Kuam Sufi (Syaikh al-Ta`ifah); sementara al-Qusayiri di dalam kitabnya al-Risaalah al-Qusyairiyyah menyebutnya Tokoh dan Imam kaum Sufi. Asal-usul al-Junaid berasal dari Nihawan. Tetapi dia lahir dan tumbuh dewasa di Irak. Tentang riwayat dan pendidikannya, al-junaid pernah berguru pada pamannya Surri al-Saqti serta pada Haris bin `Asad al-muhasibi.
Kemampuan al-Junaid untuk menyapaikan ajaran agama kepada umat diakui oleh pamannya, sekaligus gurunya, Surri al-Saqti. Hal ini terbukti pada kepercayaan gurunya dalam memberikan amanat kepadanya untuk dapat tampil dimuka umum.
Syekh Junaid Al-Baghdadi adalah seorang ulama sufi dan wali Allah yang paling menonjol namanya di kalangan ahli-ahli sufi. Tahun kelahiran Imam Junaid tidak dapat dipastikan. Tidak banyak dapat ditemui tahun kelahiran beliau pada biografi lainnya. Beliau adalah orang yang terawal menyusun dan membahas tentang ilmu tasawuf dengan ijtihadnya. Banyak kitab-kitab yang menerangkan tentang ilmu tasawuf berdasarkan kepada ijtihad Imam Junaid Al-Baghdadi
Imam Junaid adalah seorang ahli niaga yang kaya raya. Beliau memiliki sebuah gedung tempat beliau berdagang di kota Baghdad yang ramai pelanggannya. Sebagai seorang guru sufi, beliau tidaklah disibukkan dengan mengurusi dagangannya sebagaimana para pedagang lain yang kaya raya di Baghdad.
Waktu berdagangnya sering cuma sebentar saja karena lebih mengutamakan pengajian murid-muridnya yang haus akan ilmu pengetahuan. Setiap malam beliau berada di masjid besar Baghdad untuk menyampaikan kuliahnya. Banyak penduduk Baghdad datang ke masjid untuk mendengar kuliahnya sehingga penuh sesak.
Semasa hidupnya, beliau hidup dengan sederhana dan bersahaja, walaupun dengan usaha niaganya yang terbilang sukses, beliau lebih memilih meninggalkan niaganya ketika tiba waktu ibadah dan mengajar, karena beliau tidak pernah berangan-angan untuk memperoleh kekayaan duniawi dari niaganya. Sebagian besar hasil usahanya, beliau berikan kepada orang-orang miskin, pengemis dan orang tua yang lemah. Demikian beliau tidak pernah mengeluh bahkan beliau merasakan hidup bahagia. Hal ini disebabkan besarnya rasa syukur beliau pada Allah .[2]
Keseharian beliau lebih banyak digunakan untuk mengajar. Masjid Baghdad tempat beliau mengajar penuh sesak dengan orang-orang yang hendak menimba ilmu dari beliau. Setiap malam setelah beliau mengajar, beliau pulang ke rumah untuk kemudian beribadah lagi. Beliau isi malam-malamnya dengan salat, membaca al-Qur'an dan berzikir.
Imam Junaid mempunyai beberapa kelebihan dan karamah. Di antaranya ialah pengaruhnya yang kuat setiap kali menyampaikan kuliahnya. Kehadiran murid-muridnya di masjid, bukan saja terdiri dari orang-orang biasa malah semua golongan menyukainya.
Masjid-masjid sering dipenuhi oleh ahli-ahli falsafah, ahli kalam, ahli Fiqih, ahli politik dan sebagainya. Namun begitu, beliau tidak pernah angkuh dan bangga diri dengan kelebihan tersebut.
B. Tasawwuf Junaid al-Baghdadi
Pandangan-pandangan para sufi sebelum Junaid cukup radikal, memancing para yuris (fukaha) untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawwuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawwuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawwuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syariat. Bahkan ada beberapa amaliah yang dikenal di kalangan ahli tasawwuf, namun terbilang asing bagi para ahli fikih. Sehingga seringkali dianggap bid’ah. Keadaan semakin runyam dengan hadirnya orang-orang yang hanya mencari pembenaran atas perilakunya yang tidak sesuai dengan syariat, yang di sisi lain mereka menggunakan pandangan-pandangan ahli tasawwuf. Oleh Al Ghazali, mereka disebut mutashawwif (orang yang pura-pura menjadi sufi) dan bukan sufi hakiki.
Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawwuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, namun mengabaikan esensi dan kesejatiannya. Banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang. Namun karena dianggap sah menurut hukum, maka penyelewengan itu tetap berjalan.
Kondisi ini berlangsung hingga masa Abul Qasim Abdullah ibn Ali ibn Junaid Al Baghdadi. Benturan pendangan ini merisaukan Al Junaid. Mengapa harus dipertentangkan. Bukankah ajaran tasawwuf itu bersumber dari ajaran nabi. Begitu pula dengan fikih. Maka hendaknya kedua cara pandang yang cenderung hakikat-centris dan yang cenderung legalit-centris, dikompromikan. Dalam hal ini, Al Junaid mengatakan,[3]
علمنا هذا مقيد بالكتاب والسنة من لم يقرأ القرآن ويكتب الحديث لا يقتدى به في علمنا هذا
“ilmu (tasawwuf) kami ini dilandasi oleh Al Quran dan As Sunnah, barang siapa tidak membaca Al Quran dan menulis As Sunnah, maka ucapannya tidak dapat diikuti dalam ilmu kami ini”
Frase Ilmuna merujuk pada pengalaman dan pengetahuan yang didapatkan melalui perjalanan spiritual. Pengetahuan yang kadang sulit dijelaskan oleh nalar manusiawi. Sehingga kadangkala dampak dari ilmu tersebut terbilang aneh bagi orang biasa. Semua merujuk pada tingkat ekstasie tertentu pada diri sufi yang tidak dapat dijelaskan secara nalar. Namun hal itu memang benar mereka rasakan. Mereka seperti masuk pada ruang tanpa batas. Pengetahuan tentang yang supra-gaib. Sehingga muncul sikap radikal dan liberal dalam pemikiran tasawwuf. Radikalisme dan liberalisme tasawwuf dapat kita amati dalam fenomena ittihad dan hulul. Keduanya memiliki kesamaan dalam menafikan realitas konkret manusia.[4]
Keliaran pemikiran semacam ini dalam pandangan Al Junaid, tidaklah benar. Baginya, dunia tasawwuf harus tetap berpijak pada realitas konkret manusia. Pencapaian tertinggi dalam dunia tasawwuf hanyalah sampai level mahabbah dan ma’rifah. Dengan demikian eksistensi konkret hamba (ubudiah) tetap terpisah dari eksistensi tuhan (uluhiah).
Menurut Al Junaid, syariat tetaplah penting dalam menuju mahabbah dan ma’rifah. Dari sini, gagasan Al Junaid kemudian sangat kompatibel dengan pemikiran ahli fikih dan hadis. Dan inilah makna ucapan “dilandasi Al Kitab dan As Sunnah”.
Imam Junaid atau yang mempunyai julukan Abul Qasim ini adalah orang pertama yang menyusun dan membahasakan tasawuf, hingga tak jarang kitab-kitab tasawuf yang merujuk kepada ijtihad Imam Junaid. Dan beliau pulalah yang merangkum pertama kali kata-kata bijak Imam Abu Yazid al-Busthomi yang tidak lain adalah guru beliau sendiri.[5]
Al-Junaid di kenal dalam sejarah tasawuf sebagai seorang sufi yang banyak membahas tentang tauhid. Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Qusyairi: Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang pengertian tauhid. Dia menjawab: “Orang-orang yang mengesakan Allah (al-muwahhid) ialah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakan, menafikan segala bentuk politeistik. Dia tidak bisa diserupakan, diuraikan, digambarkan dan dibuat contoh-Nya. Dia tanpa padanan dan Dia adalah zat yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.”
Pengertian tauhid yang diberikan al-Junaid di atas tidak keluar dari pengertian yang diberikan oleh para teolog, sekalipun dia menguraikannya dari sudut pandang para sufi. Menurutnya, akal-budi tidak mampu memahami itu. Sebab, “seandainya pemikiran para pemikir dicurahkan sedalam-dalamnya pada masalah tauhid, pikiran itu akan berakhir dengan kebingungan.” Dan katanya pula: “Ungkapan terbaik tentang tauhid adalah ucapan Abu Bakr al-Siddiq: Maha Suci Zat yang tidak menjadikan jalan bagi makhluk-Nya untuk mengenal-Nya, melainkan ketidakmampuan mengenal-Nya.”[6]
Pengertian tauhid, sebagaimana diberikan al-Junaid, dan dikutip oleh banyak penulis kemudian, bahwa ia mengandung unsur utama “pemisahan yang baqa’ dan fana’. Dengan menjadikan perjanjian azali sebagai titik tolak, seraya merujuk kepada al-Qur’an (QS. Al-‘An’am:164-168) menurut tafsiran sufi, ia memandang seluruh rangkaian sejarah ini sebagai upaya manusia dalam memenuhi perjanjian itu dan kembali ke ihwal asalnya. Dalam sebuah tafsir tentang percakapan yang konon berlangsung antara manusia dan Tuhan dahulu kala, al-Junaid menulis: “Dalam ayat ini Allah menerangkan kepadamu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada zaman tatkala mereka (anak-cucu Adam) belum maujud, tapi sudah maujud dalam diri-Nya. Kemaujudan ini bukanlah kemaujudan yang lazim dari ciptaan-ciptaan-Nya. Namun kemaujudan ini merupakan suatu kemaujudan yang hanya diketahui oleh Allah..[7]
Tauhid yang hakiki menurut al-Junaid adalah buah dari fana’ terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia mengatakan: “Tauhid yang secara khusus dianut para sufi adalah pemisahan yang qidam dari yang hudus[8]. Ketika menjelaskan sebuah hadis: “Manakala Aku mencintainya, maka aku menjadikannya mampu mencapai hal ini. Dialah yang menuntunnya dan mengaruniakan kepadanya hakikat dan kebenaran. Dengan demikian, ia adalah perbuatan Allah lewat dirinya.
Tauhid yang begini, menurut al-Junaid, adalah tauhid bagi kelompok tertentu. Misalnya al-Tusi dalam kitabnya Al-Luma’, menuturkan: “Suatu ketika al-Junaid ditanya tentang tauhid bagi kelompok tertentu (kaum khawas), jawabnya: Hendaklah seseorang menjadi pribadi yang berada di tangan Allah di mana segala kehendak-Nya berlaku bagi dirinya. Dan ini tidak bisa tercapai kecuali dengan membuat dirinya fana’ terhadap dirinya dan makhluk sekitarnya. Dengan sirnanya perasaan dan kesadarannya maka seluruhnya berlaku kehendak Allah SWT.[9]
Al-Junaid memahami sepenuhnya bahwa pengalaman sufistik tidak bisa diuraikan dengan akal dan berbahaya untuk dibicarakan secara terbuka mengenai rahasia terdalam dari iman dihadapan orang-orang awam (terutama sekali terhadap orang-orang yang memandang kegiatan para sufi dengan kecurigaan). Berdasarkan alasan inilah ia menolak al-Hallaj yang telah menjadi contoh mereka yang telah menjalani hukuman karena telah berbicara secara terbuka tentang rahasia cinta dan penyatuan. Oleh karenanya, al-Junaid memperhalus seni bicara melalui isyarat suatu kecenderungan yang mula-mula diprakarsai oleh al-Kharraz. Surat-surat dan risalah-risalahnya ditulis dengan gaya samar-samar; bahasanya begitu padat sehingga sangat sulit dipahami oleh mereka yang tidak terbiasa dengan cara khas pengungkapan sufistik. Bahasa yang indah itu lebih menutupi daripada membukakan makna sebenarnya.
1. Junad dengan Seorang Wanita Cantik
Setiap insan yang ingin mencapai keridhaan Allah pastinya akan menerima ujian dan cobaan. Imam Junaid menerima ujian dari beberapa orang musuhnya setelah pengaruhnya meluas. Mereka telah membuat fitnah untuk menjatuhkan citra Imam Junaid.
Musuh-musuhnya telah bekerja keras menghasut khalifah di masa itu agar membenci Imam Junaid. Namun usaha mereka untuk menjatuhkan kemasyhuran Imam Junaid tidak berhasil.
Musuh-musuhnya berusaha berbuat sesuatu yang bisa memalukan Imam Junaid. Pada suatu hari, mereka menyuruh seorang wanita cantik untuk memikat Imam Junaid. Wanita itu pun mendekati Imam Junaid yang sedang tekun beribadat. Ia mengajak Imam Junaid agar melakukan perbuatan terkutuk.
Namun wanita cantik itu hanya dikecewakan oleh Imam Junaid yang sedikitpun tidak mengangkat kepalanya. Imam Junaid meminta pertolongan dari Allah agar terhindar daripada godaan wanita itu. Beliau tidak suka ibadahnya diganggu oleh siapapun. Beliau melepaskan satu hembusan nafasnya ke wajah wanita itu sambil membaca kalimah Lailahailallah. Dengan takdir Tuhan, wanita cantik itu rebah ke bumi dan mati.
Khalifah yang mendapat berita kematian wanita itu akhirnya marah kepada Imam Junaid karena menganggapnya sebagai suatu perbuatan yang melanggar hukum.
Lalu khalifah memanggil Imam Junaid untuk memberikan penjelasan di atas perbuatannya. “Mengapa engkau telah membunuh wanita ini?” tanya khalifah.“Saya bukan pembunuhnya. Bagaimana pula dengan keadaan tuan yang diamanahkan sebagai pemimpin untuk melindungi kami, tetapi tuan berusaha untuk meruntuhkan amalan yang telah kami lakukan selama 40 tahun,” jawab Imam Junaid.
Cerita imam Junaid di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa cobaan paling besar dalam kehidupan manusia, apalagi orang besar adalah wanita, karena wanita banyak mengantarkan orang meraih kesuksesan seperti pepata “dibalik kesuksesan besar laki-laki,dibelakangnya ada wanita-wanita perkasa”, akan tetapi tidak dapat pula disangkal bahwa wanita juga banyak menyebabkan orang hancur, terperangkap dalam belenggu setan, kesuksesan Junaid membendung godaan wanita cantik itu, menyebabkan ia menjadi orang yang kian bersinar di zamannya.
2. Junaid dan Iblis
Dikisahkan dari junaid: pada suatu hari Junaid ingin melihat Iblis, Junaid berkata: aku berdiri di pintu masjid dan dari kejahuan terlihatlah olehku seorang tua yang sedang berjalan ke arahku, begitu aku memandangnya, rasa ngerih mencekam perasaanku.
“siapakah engkau ini?”, aku bertanya.
“yang engkau inginkan”, jawabnya.
“wahai makluk yang terkutuk”, aku berseru, “apakah yang menyebabkan engkau tidak mau bersujud pada Adam?”
“bagaimanakah pendapatmu Junaid?”, Iblis menjawab, “jika aku bersujud kepada yang lain daripada-Nya?”
Junaid mengisahkan, betapa ia menjadi bingung karena jawaban Iblis itu. Dan dari dalam lubuk hatiku terdengarlah sebuah seruan, “katakanlah, engkau adalah pendusta, seandainya engaku adalah seorang hamba yang setia niscaya engkau menaati perintah-Nya”.
Ketika Iblis mendengar kata-kata ini, ia meraung nyaring. “demi Allah Junaid, engkau telah membinasakan aku!” dan setelah itu iapun hilang.[11]
Cerita ini dapat dijadikan pelajaran bahwa Iblis selalu membuat manusia terperangkap dalam logika yang menyesatkan dengan argument yang secara rasional sehingga dapat di percaya, sehingga banyak manusia yang menjadi korbannya.
3. Junaid dan Pengemis
Ketika Junaid sedang berkhutbah, salah seorang pendengarnya bangkit dan mulai mengemis. “orang ini cukup sehat”, Junaid berkata dalam hati. “ia dapat mencari nafkah, tetapi mengapa ia mengemis dan menghinakan dirinya seperti ini?”
Malam itu Junaid bermimpi, di depannya tersaji makanan yang tertutup tudung.
“Makanlah!”, sebuah suara memerintah Junaid. Ketika Junaid mengangkat tudung itu, terlihat olehnya si pengemis terkapar mati di atas piring.
“aku tidak mau memakan daging manusia”, jawab Junaid menolak.
“ tetapi bukanlah yang itu telah engkau lakukan kemarin ketika berada di dalam masjid?”
Junaid segera menyadari bahwa ia bersalah karena telah melakukan fitnah di dalam hatinya dan oleh karena itu ia dihukum.
“Aku tersentak dalam keadaan takut”, Junaid mengisahkan. “aku segera bersuci dan melakukan shalat sunnat dua rakaat.” Setelah itu aku pergi keluar mencari si pengemis.. Kudapatkan ia sedang berada di tepi sungai Tignis. Ia sedang memunguti sisa-sisa makanan sayuran yang dicuci di situ dan memakannya. Si pengemis mengangkat kepala dan terlihat olehnya aku yang sedang menghampirinya. Maka bertanyalah ia kepadaku: “Junaid sudahkah engkau bertaubat karena berprasangka buruk terhadapku?” sudah, jawabku. “jika demikian pergilah dari sini. Dia-lah yang menerima taubat hamba-hamba-Nya. Dan jagalah pikiranmu”.
4. Junaid Meninggal Dunia
Ketika ajalnya sudah dekat, Junaid menyuruh sahabat-sahabatnya untuk membentangkan meja dan mempersiapkan makanan.
“Aku ingin menghembuskan nafasku yang terakhir ketika sahabat-sahabatku menyantap seporsi sop”, Junaid berkata.
Kesakitan pertama menyerang dirinya.
“Berilah aku air untuk bersuci”, ia meminta kepada sahabat-sahabatnya.
Tanpa disengaja mereka lupa membersihakan sela-sela jari tangannya. Atas permintaan Junaid sendiri kekhilafan ini mereka perbaiki. Kemudian Junaid bersujud sambil menangis.
“Wahai ketua kami”, murid-muridnya menegurnya,”dengan semua pengabdian dan kepatuhanmu kepada Allah seperti yang engkau telah lakukan, mengapa engakau bersujud saat-saat seperti ini?”
“tidak pernah aku merasa lebih perlu bersujud dari pada saat-saat ini”, jawab Junaid.
Kemudian Junaid membaaca ayat-ayat al-Qur’an tanpa henti-hentinya.
“dan engkau pun membaca al-Qur’an?”, salah seorang muridnya bertanya.
“siapakah yang lebih berhak dari padaku membaca al-Qur’an, karena aku tahu bahwa sebentar lagi catatan kehidupanku akan digulung dan kulihat pengabdian dan kepatuhanku selama tujuh puluh tahun tergantung di angkasa pada sehelai benang. Kemudian angin bertiup dan mengayungkan kesana kemari, hingga aku tak tahu, apakah angin itu akan memisahkan atau akan mempertemukan dengan-Nya. Di sebelahku akan membentang tebing pemisah surga dan neraka, dan disebelah yang lain adalah Malaikat maut. Hakim yang adil akan menantikanku disana, teguh tak tergoyahkan di dalam keadilan yang sempurna. Sebuah jalan telah terbentang di hadapanku dan aku tak tahu dimana akan hendak dibawa”.
Setelah tamat dengan al-Qur’an yang dibacanya, dilanjutkannya pula tujuh puluh ayat dari surah al-Baqarah.
Kesakitan kedua menyarang Junaid.
“sebut nama Allah”, sahabat-sahabatnya membisikkan.
“aku tidak lupa “, jawab Junaid. Tangannya meraih tasbih dan keempat jarinya kaku mencengkram tasbih itu, sehingga salah seorang muridnya harus melepaskannya.
“dengan nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang”, Junaid berseru, kemudian menutup matanya dan sampai pulalah ajalnya.
Ketika jenazahnya dimandikan, saalah seorang yang ikut memandikannya bermaksud membasuh matanya. Tetapi seruan dari langit mencegah: “lepaskan tanganmu dari mata sahabatku. Mataku tertutup bersama nama-Ku dan tidak akan dibukakan kembali kecuali ketika dia menghadap-Ku nanti”. Kemudian ia hendak membuka jari-jari Junaid untuk di basuhnya. Sekali lagi terdengar suara mencegah: “jari-jari yang telah kaku bersama nama-Ku tidak akan dibukakan kecuali melalui perintah-Ku”.
Ketika jenazah Junaid di usung, seekor burung dara berbulu putih hinggap di sudut peti matinya. Percuma saja para sahabat mencoba mengusir burung itu, karena ia tidak mau pergi. Akhirnya burung itu berkata :
“janganlah kalian menyusahkan diri kalian sendiri dan menyusahkan aku. Cakar-cakarku telah tertancap di sudut peti mati ini oleh paku cinta. Itulah sebabnya aku hinggap disini. Janganlah kalian bersusah payah. Sejak saat itu jasadnya dirawat oleh para malaikat. Jika bukan karena kegaduhan yanh kalian buat, niscaya jasad Junaid telah terbang ke angkasa sebagai sebagai seekor elang putih bersama-sama dengan kami”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar