Masjid Nabawi

Masjid Nabawi
يا سيدي يا رسول الله يا سيدي يا رسولَ الله - يا من له الجَاهُ عند الله إنّ الْمُسِيْئِيْنَ قدْ جَاءُوك - بالذّنْبِ يَسْتَغْفِرُونَ الله يا سيّد الرُّسْل هَادِيْنـا - هَيـّا بِغَارة إِلَيْنا الآن يا هِِمَّة السّادات الأقْطاَب- مَعَادِن الصِّدْقِ والسِّرّ نَادِ المُهَاجِرصَفِيّ الله -ذاك ابْنُ عيسى أبَا السَّادات ثُمّ المُقَدّم ولِيّ الله - غَوْث الوَرَى قُدْوَة القَادات ثمّ الوَجِيْـه لِديْنِ الله - سَقّافَنا خَارِق الْعَادَات والسّيّد الكامِل الأَوّاب - العَيْدرُوس مَظْهَر القُطْر قُومُوا بِنا واكْشِفُوا عَنّا - يا سَاداتِي هذِه الأَسْوَ وَاحْمواُ مَدِيْنَتْكُم الغَنَّا - مِنْ جُمْلةِ الشَّرّ والْبَلْوَى

Senin, 05 Juli 2010

Mensyukuri Neraka

walaupun Gede Prama adalah sosok umat hindu bali, namun kata-kata bijaknya banyak menjadi inspirasi berbagai kalangan termasuk umat islam sendiri. perkataan yang dapat menjadi inspirasi tentunya tidak ada kaitannya dengan ajaran agama melainkan nasehat dalam menjalani kehidupan yang fana ini.
saya adalah salah satu penggemar beliau, sosok beliau telah banyak memberi inspirasi bagi saya karena orang seperti Gede Prama sudah sangat langka bukan hanya sebagai motivator melainkan hampir semua perkataanya lahir dari pengalaman hidup beliau (sehingga bukan hanya nasehat kepada orang lain saja tetapi diri tidak menjalani melainkan jalan beriringan).
berikut adalah kutipan dari penjelasan beliau yang saya ambil dari Kaskus;

Entah kapan dimulai, dan siapa yang memulainya tidaklah terlalu jelas. Yang jelas, ada banyak sekali manusia yang amat rindu akan surga dan amat takut sama neraka. Dari anak kecil sampai orang tua, dari orang desa sampai orang kota, kebanyakan rindu surga dan takut neraka.
Jujur harus diakui, sayapun pernah lama dilanda kerinduan dan ketakutan semacam itu. Cuman, setelah menelusuri lorong-lorong kehidupan dengan kedalaman kontemplasi tertentu, rupanya kita manusia sudah terlalu lama manja dengan buaian surga, dan dibuat takut oleh ancaman neraka. Untuk kemudian kehilangan dua kesempatan emas dalam hidup. Kesempatan emas pertama, manusia kehilangan kekuatan amat besar yang bernama keikhlasan. Kesempatan emas kedua, justru melalui tempaan-tempaan neraka yang ditakuti (baca : masalah) kemudian manusia jadi kuat dan hebat.
Konsepsi surga-neraka, sebagaimana kita tahu, memang memiliki banyak sekali manfaat. Cuman, sebagaimana wajah dualitas manapun, konsepsi surga-neraka membuat tidak sedikit manusia kemudian “berdagang” dengan kehidupan. Sebagai akibatnya, manusia kehilangan keikhlasan sebagai kekuatan kehidupan.
Ada cerita tentang sebuah desa yang tidak berhasil memotong pohon besar mengganggu. Karena berbagai peralatan tidak berhasil membuat pohon tumbang, dicurigai pohon ini ditunggui mahluk dengan kekuatan metafisik tertentu. Dicarilah orang “pintar” yang bisa membantu. Ternyata, ada orang berpenampilan sederhana yang bisa memotong pohon tadi dengan gergaji biasa. Orang terakhir hanya memotong pohon tadi dengan kalimat permulaan yang berbunyi : “dengan keikhlasan di depan Tuhan, tidak ada yang tidak bisa dilakukan”.
Ternyata kinerja orang sederhana ini terdengar ke banyak tempat. Di samping karena kekaguman masyarakat, juga kerena hadiah besar yang telah diterimanya. Di desa seberang yang memiliki problema yang serupa kemudian memanggilnya. Dan setelah memotong pohon dengan teknik dan alat yang sama, ternyata berkali-kali hanya berujung kegagalan. Ada yang berubah, katanya setelah berulang kali gagal, hadiah rupanya melenyapkan keikhlasan!
Ini memang hanya sebuah cerita, namun layak direnungkan kalau keikhlasan bukanlah sumber kelemahan. Ia sejenis tenaga dalam yang bisa membuat manusia jadi demikian perkasa. Terinspirasi dari banyak cerita-cerita sufi, demikian juga dari puisi-puisi Gibran dan Rumi, serta kualitas pemimpin-pemimpin yang masih berkuasa ketika badannya sudah disebut meninggal oleh dokter, keikhlasan sudah menjadi tema kehidupan yang kuat sejak dulu.
Kesempatan emas kedua yang dibuat lenyap oleh konsepsi surga-neraka, adalah kekuatan-kekuatan yang bisa dihadirkan oleh keseharian yang penuh dengan “neraka”. Masalah, godaan, tantangan, persoalan adalah rangkaian hal yang ditakuti banyak manusia sebagaimana mereka menakuti neraka. Semakin sedikit wajah neraka seperti ini yang hadir, semakin baik bagi para pengagum surga.
Ternyata kehidupan bertutur dan bercerita lain. Sebagaimana pernah dituturkan secara apik oleh M. Scott Peck dalam The Road Less Travelled, mereka-mereka yang menakuti neraka ternyata tumbuh jadi manusia lemah dan lembek. Sebagian bahkan terkena penyakit kejiwaan yang menyedihkan. Di bagian awal buku inspiratif ini Scott Peck menulis : ?This tendency to avoid problems and emotional suffering inherent in them is the primary basis of all human mental illness?. Kecenderungan untuk lari dari masalah dan penderitaan adalah fundamen utama dari kondisi mental yang tidak terlalu sehat.
Bercermin dari sini, neraka tidaklah seburuk bayangan banyak orang. Dalam lapisan-lapisan kejernihan yang lebih dalam, neraka adalah tempat pemurnian. Sebuah tempat di mana sampah-sampah kehidupan diolah menjadi pupuk-pupuk berguna. Sebutlah masalah keseharian seperti dimarahin atasan. Sesaat memang membuat yang bersangkutan kesal, tetapi kemarahan atasan sedang membuatnya jadi kuat. Atau memiliki isteri yang cerewetnya minta ampun, ia memang sengaja hadir untuk membuat sang suami jadi sabar. Demikian juga dengan masalah lain.
Yang jelas, lari dari persoalan memang enak sebentar, tetapi ia membawa dampak jangka panjang yang negatif. Meminjam argumen Scott Peck dalam karya di atas, kesukaan untuk lari dari masalah dan tanggung jawab adalah ciri utama dari manusia-manusia yang terkena penyakit character disorder. Lebih dari sekadar terkena penyakit kejiwaan tadi, tantangan dan masalah sebenarnya serupa dengan tangga-tangga kedewasaan dan kematangan. Semakin tinggi dan besar masalahnya, itu berarti kaki sang hidup sedang melangkah di tempat yang juga tinggi.
Surga (baca : kebahagiaan) memang udara kehidupan yang indah dan segar, tetapi ia terasa jauh lebih indah dan segar jika seseorang pernah melalui tangga-tangga neraka. Serupa dengan lingkaran Yin-Yang yang di belah dua, awalnya memang ada beda jelas dan tegas antara surga dan neraka. Surga itu berisi senyuman, neraka berisi tangisan. Namun, di tingkatan-tingkatan kejernihan, sekat dan pemisah tadi sudah tidak ada. Suka-duka, tangisan-senyuman, sukses-gagal hanyalah aliran kehidupan yang datang dengan peran masing-masing. Persis seperti siang yang berganti malam dan juga sebaliknya, setiap pergantian berjalan tenang dan tenteram. Dan jangan lupa, kualitas hidup di dalam diri seperti ini hanya bisa dicapai oleh manusia yang mendalami hakekat syukur akan adanya neraka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar